say hello to all

hello semua, lam kenal smua,,,,,,,,, selamat datang di blog sastri ds sukawati gianyar bali trisma
ikutilah setiap entri terbaru dari q,,,,,,,
don't forget........ and please give me a chance

Kamis, 19 Agustus 2010

GEDE ARYANTA SOETAMA

Tradisi Bali dalam Kisah-kisah Dilematis

Judul : Bunga Cepun
Penulis : Putu Fajar Arcana
Penerbit : Buku Kompas
Tebal : 156 hlm.
Tahun : 2003.

CERITA pendek (cerpen) dalam kumpulan ini didominasi tema-tema masalah adat dan tradisi Bali dalam konteks modernisasi. Adat dan tradisi Bali yang dilematis sudah sering muncul ke permukaan, namun dalam kumpulan cerpen ini, hal-hal tersebut dituturkan Putu Fajar Arcana dalam bentuk cerita yang cukup menyentuh. Siapa pun membaca cerita-cerita dalam antologi ini akan merasakan bahwa Bali tengah berada "di persimpangan jalan", bingung menuju arah mana masa depan hendak diraih.

Cerpen "Rumah Makam" merupakan cerita yang paling kental memotret dilema adat Bali dalam kehidupan sosial. Dikisahkan sebuah keluarga terpaksa mengubur jenasah ayahnya di rumah (sehingga rumahnya menjadi makam) karena almarhum pada masa hidupnya dikucilkan masyarakat berdasarkan sanksi adat. Sanksi itu dijatuhkan kepadanya karena faktor sosial dan politik. Semasa hidupnya, almarhum mencoba menggagalkan kampanye pemenangan Golkar, dia juga melarang warganya menari ke hotel berbintang kalau diupah rendah. Singkat cerita, masyarakat gempar setelah tahu ada warganya mengubur mayat di rumah. Tindakan itu dianggap mengotori desa. Warga merencanakan upacara bersih desa. Upacara bersih desa, yang tentu saja akan menghabiskan tenaga dan uang, tentu tidak perlu terjadi jika almarhum dikubur di makam desa. Namun, sanksi yang kejam, yang berlaku meski seseorang telah meninggal itulah yang menjadi sumber masalah baru. Dengan penggambaran seperti itu, pembaca didorong untuk merenung atau bertanya: yang manakah sebetulnya yang kejam? Adat Bali ataukah sentimen sosial politik yang menungganginya? Di sinilah kekuatan cerpen ini. Sebagai pengarang, Fajar sengaja tidak memberikan ketegasan. Ia hanya menunjukkan pembacanya bahwa kasus adat di Bali terjadi berulang seperti jalan tak ada ujung.

Dalam cerpen-cerpen Fajar, dilematis persoalan kewajiban sosial yang bertumpu pada adat dilukiskan dari sudut pandang tokoh-tokoh urban. Dalam cerpen "Rumah Makam" terdapat tokoh cerita yang tinggal di Jakarta, yang harus pulang untuk menyelesaikan kasus almarhum ayahnya. Ternyata kepulangannya tidak mampu menyelesaikan persoalan. Cerpen "Di Tepi Persimpangan" pun mirip dengan itu, terutama dilema yang dihadapi orang Bali dalam menghadapi realitas hidup dan tuntutan sosial-adat. Dalam "Di Tepi Persimpangan" dilukiskan kebingungan hidup seorang Bali yang bekerja di Jakarta demi karier ketika tiba-tiba ada panggilan dari keluarga di kampung halaman agar pulang karena ada kegiatan kematian dan upacara. Tantangan hidup di Jakarta luar biasa besarnya, tetapi panggilan pulang juga tak kalah seriusnya. Masalahnya tidak saja si tokoh harus meninggalkan tugas kantor tetapi harus berhitung biaya jutaan rupiah untuk biaya transportasi. Si tokoh bertanya, apakah dirinya bekerja di Jakarta hanya untuk menabung uang biaya pulang?

Sebagai pengarang, Fajar kompromi dalam menghadapi kasus ini. Tokoh cerita dilukiskan mengutus istrinya pulang, sementara si suami tetap bekerja karena tak bisa cuti dan juga demi karier. Walaupun tidak disinggung, pembaca bisa menebak bahwa tokoh cerpen ini kelak terancam terkena sanksi adat jika dia selalu absen dari kegiatan adat. Dilema seperti ini mungkin agak universal sifatnya, artinya juga dihadapi anggota masyarakat etnik atau bangsa lain. Tetapi, di Bali isolasi sosial karena adat (kasepekang) merupakan hal yang sangat serius, seperti kerap terjadi dalam kehidupan sosial dan ditulis oleh pengarang-pengarang Bali lainnya.

Hampir semua cerpen Fajar dalam antologi ini bersifat kontekstual Bali. Ada cerpen soal kasta ("Pergi dari Geriya", "Sulasih"), leluhur dan warisan ("Odah"), dan tragedi penari Bali yang ditipu menjadi hostess di Jepang ("Para Penari"). Ada juga beberapa cerpen yang ditulis berdasarkan fakta aktual kasus bom Bali, seperti bisa dibaca dalam cerpen "Bunga Jepun", "Tahun Baru Pertama di Kuta", dan "Saraswati". Sebagai wartawan, Fajar memang dekat dengan persoalan-persoalan yang ditulisnya, termasuk kasus bom Kuta. Beberapa hari setelah bom meledak, Fajar yang menjadi wartawan Kompas, mendapat tugas ke Bali untuk meliput dampak bom terhadap kehidupan sosial. Ceritanya banyak diolah dari fakta-fakta yang dihadapi sebagai wartawan. Kalau sebagai wartawan dia harus menulis fakta-fakta, sebagai cerpenis dia berimajinasi untuk membayangkan apa yang mungkin terjadi akibat fakta-fakta tersebut. Lewat cerpen, dia bisa memberikan komentar yang lebih "liar", "keras" untuk membuat ceritanya lebih menyentuh dan menyentak.

Cerpen "Bunga Jepun", yang dipilih menjadi judul buku ini, adalah kisah tentang dampak bom Bali terhadap kehidupan kesenian Bali di sebuah desa yang jauh dari Kuta. Dikisahkan, akibat bom Bali, kelompok kesenian joged desa tersebut tidak lagi mendapat undangan untuk pentas di desa padahal selama ini penghasilan kelompok kesenian ini sangat menunjang kehidupan warga desa itu. Dalam dilema itu, hal tragis pun terjadi, yakni gamelan joged dijual untuk mengatasi kesulitan hidup dan penari joged pun memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya, yakni pindah ke Jakarta walau hanya untuk menjadi pelayan toko. Bagi sebagian pembaca, cerpen ini mungkin sangat menyentuh tetapi bagi yang lain bisa jadi sangat menyentak karena menggambarkan sesuatu secara radikal.

Beberapa cerpen Fajar dalam antologi ini memiliki kemiripan tema dan isi dengan karya Gde Aryantha Soethama. Cerpen "Rumah Makam", misalnya, mirip dengan cerpen "Kubur Wayan Tanggu" (1996), sedangkan cerpen "Bunga Jepun" mirip dengan cerpen "Terompong Beruk" (1995). Kemiripan ini bukanlah semata masalah pengaruh-mempengaruhi tetapi yang lebih penting adalah adanya kepedulian yang sama antara pengarang Bali dalam menatap dilema-dilema yang muncul dalam masyarakatnya. Kepedulian itu tak terhindarkan karena mereka merupakan bagian dari dunia sosial dan budaya yang sama.

Kehadiran antologi cerpen "Bunga Jepun" ini dalam jagat cerpen dan sastra Indonesia tak hanya menambah buku kumpulan cerpen Indonesia yang belakang memang kian subur tetapi memperkaya ragam tema-tema cerpen Indonesia dengan warna lokal Bali. Bersama pengarang Bali lainnya seperti Panji Tisna, Putu Wijaya, Aryanta Soethama, Oka Rusmini, Fajar pun ikut memperbesar kontribusi Bali dalam perkembangan sastra Indonesia. Kita harapkan kontribusi tersebut bisa bertambah terus dari Fajar sebagai penulis muda dengan karya-karya yang jauh lebih baik dan dalam daripada kumpulan cerpen pertama "Bung Jepun" ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar